Share :

Sejarah PO Cebong Jaya Berawal Dari Mitsubishi Colt T120 - Colt Punya Cerita

Taukah anda bahwa PO Cebong Jaya dulu berawal dari sebuah kendaraan produksi tiga berlian bermesin neptune86??? Ya.. MITSUBISHI COLT T120 tentunya. Dan berangkat dari situ lalu berkembang jadi beberapa armada bus yang melayani rute Wonosobo - Magelang, Wonosobo - Purwokerto dan Wonosobo Prembun (kebumen).

Bus PO Cebong Jaya
Nama Cebong Jaya sudah akrab di telinga masyarakat Wonosobo. Nama perusahaan otobus itu memang agak nyeleneh. Cebong berarti anak katak atau berudu, tapi menurut si empunya brand perusahaan transportasi bus itu, cebong adalah biji duku.

Perusahaan minibus milik Amin yang kini memiliki 40 unit armada bus. Bisnis Amin benar-benar "dilahirkan" dari duku. Keuntungan hasil berjualan duku bapak dengan lima anak ini dirupakan kendaraan open cup Colt T120. Harganya kala itu hanya Rp 3 juta.

Kendaraan itu untuk sarana berdagang ke pasar, Mobil open cup alias bak terbuka MITSUBISHI Colt T120 dan dinamai Cebong Jaya karena duitnya hasil dari jualan duku. 

Mobil open cup itulah yang menjadi cikal bakal berdirinya PO Cebong Jaya yang kini melayani 3 trayek, yaitu Wonosobo-Magelang, Wonosobo-Purwokerto, dan Wonosobo-Prembun (Kebumen). Awalnya, suami istri Amin Suwarno-Sukarni adalah pedagang hasil bumi dan kayu bahan bangunan. Komoditasnya antara lain cengkeh, kopi, duku, salak dan banyak lainnya. Dari usaha berdagang itulah Amin dan Sukarni lantas menyatu dalam ikatan tali pernikahan.
MITSUBISHI Colt T120 dan dinamai Cebong Jaya karena duitnya hasil dari jualan duku - Coltt120lovers.com
Alhasil, pasangan pedagang ini kian getol menjalankan usahanya. Berkat kerja keras, mereka berhasil membeli 100 pohon duku di Desa Wonokerto dan Jlamprang, Kecamatan Leksono yang merupakan sentra buah berdaging manis itu. Keuntungan dari hasil panen dukunya pada 1980 diinvestasikan dengan membeli mobil open cup yang digunakan untuk mengirim buah-buahan ke Bandung, Semarang, Jakarta dan kota besar lain.

Usaha semakin maju, praktis keuntungan pun mulai mengalir. Pria kelahiran Wonosobo 57 tahun silam itu kemudian menanamkan keuntungannya dengan membeli tanah yang ditanami salak, duku dan kayu sengon atau albasia.

Setahun kemudian, ia membeli satu unit mobil pikap untuk trayek umum. Bisnis terus bergulir mendatangkan keuntungan menggembirakan. Amin mulai melirik usaha transportasi yang dirasa mampu mengeruk laba. Maka pada 1982 ayah dari Edi Mulyanto, Eni Widiyati, Lisnina, Budiadi Gunawan Yulianto, dan Ragil Yuliatmoko ini membeli mikrobus. Tampaknya insting bisnisnya tidak keliru, usaha transportasi kecil-kecilan ini berkembang pesat. Sampai akhirnya Amin memiliki 6 unit mikrobus yang waktu itu melayani trayek Wonosobo-Wadaslintang dan Wonosobo-Magelang.

Sebagai seorang pengusaha sejati, otaknya terus berputar untuk meningkatkan usaha. Pada 1986 ia kembali menambah armada minibusnya dari 2 unit menjadi 3. Dan sekarang sudah ada 40 unit lebih.

Tak hanya perusahaan transportasi yang maju, usahanya di bidang pertanian maupun kayu bangunan pun terus berkembang. Bahkan Amin meluaskan usahanya di bidang rumah makan yang kini dikelola oleh sang istri.

Namun, tambah dia, dunia usaha pasti mengalami pasang surut karena dipengaruhi ekonomi global. Demikian pula dengan bisnis transportasi yang dikelolanya. Pada 1997, krisis ekonomi melanda yang diikuti kenaikan harga bahan bakar naik (BBM), pendapatannya menurun. Sementara harga suku cadang pun ikut membumbung tinggi. Suku bunga di bank naik drastis hingga 57 persen. Tak pelak, usaha transportasi Amin nyaris kolaps. Ia terancam menangguk hutang ratusan juta rupiah di bank akibat suku bunga yang tinggi kala itu.

Karena tidak mampu beli suku cadang baru, saya ambil dari bus lain. Sudah ada 3 bus yang dikanibal atau diambil suku cadangnya, kini tinggal kerangka. Nyaris putus asa, Amin berniat menjual armada bus untuk membayar hutang-hutangnya. Kebetulan temannya yang juga pengusaha transportasi telah menawar beberapa unit busnya untuk dibeli. Belakangan justru usaha temannya itu mengalami gulung tikar terlebih dulu, semua busnya dijual.

Untunglah pihak bank memberikan kelonggaran waktu membayar hutang kepada Amin, sehingga asetnya batal dijual. "Saat itu saya punya 13 bus. Angka 13 katanya sial, ternyata malah mendatangkan keuntungan. Karena usaha tetap bisa bertahan

Share :